Keris Jangkung Luk 7
Keris Jangkung Keleng (Tanpa Pamor)
Memandang keris jangkung ini memang tidak kita temukan warna pamor yang tergambar di bilahnya alias tanpa pamor. Keris dengan tanpa pamor seperti ini biasanya disebut dengan keris Keleng atau Kelengan.
Kêlêng dalam bahasa Jawa berarti hitam (cenderung glossy). Istilah pamor Keleng biasanya digunakan untuk menyebut suatu bilah keris, tombak, pedang atau tosan aji lain yang pamornya tak nampak sama sekali. Pada keris-keris keleng muda (nom-noman), memang tidak diselipi bahan pamor hanya baja (pengawak waja) tetapi pada keris-keris tangguh tua masih mengandung bahan pamor walau tidak terlihat karena kerapatan penempaan yang dibuat ratusan kali bahkan ribuan kali lipatan, menyatu dan luluh dalam bilahnya. Sehingga tampak seperti urat halus atau serat saja.
Keris-keris keleng selain mengutamakan kematangan tempa juga menitik-beratkan kesempurnaan garap. Garap yang dimaksud disini meliputi keindahan bilah, termasuk detail ricikan-nya. Sehingga banyak digemari oleh para penikmat garap. Keris keleng juga bisa menjadi bahasa tingkat kematangan lahir dan batin sang Empu. Kedalaman batin diterjemahkan dalam bilahnya yang berwarna hitam polos tanpa putihnya “bedak” pamor, mengisyaratkan jika sang Empu sudah menep (mengendap) hatinya dari pencemaran duniawi. Pamor keleng mampu menjadi inspirasi tentang sebuah ketulusan atau keikhlasan. Tuahnya susah dibaca, hanya mereka yang mengetahui ilmu esoteri saja yang bisa membaca. Namun ada juga yang beranggapan keris keleng mempunyai kekuatan esoteri yang lebih multifungsi.
Tags: ciri2 keris sedayu, empu pitrang, jual keris jangkung, jual keris kelengan, Jual Keris Kuno, Jual Keris Pamor Keleng, Jual Keris Sepuh, Jual Keris Tangguh Sendang Sedayu, keris jangkung asli, keris jangkung luk 3, Keris Jangkung Luk 3 Keleng Sendang Sedayu Sepuh Kuno, keris jangkung mangkunegara, keris jangkung mini, keris tangguh sendang sedayu, tuah keris pamor pitrang
Dalam penjelasan kemarin, apabila kita analogikan sebuah kendaraan roda empat, maka dhapur itu sama dengan model kendaraan. Sedangkan pengelompokan keris lurus atau luk dapat dianalogikan sebagai jenis kendaraan misalnya Convertible, Pick Up, Van/Minibus, Off Roader, SUV, dan MPV. Maka untuk keris dengan jumlah luk 7, bisa berdhapur Carubuk, Sempana, Murma Malela, Jaran Guyang, Megantara, Carita dan seterusnya.
Lalu apa saja atribut sebuah dhapur? Sama halnya dengan model kendaraan, misalnya Delica, secara fitur mirip dengan Toyota Nav1 yang kini jadi Voxy, Nissan Serena, dan Mazda Biante. Ciri khas Delica, mesin 2000cc 4 silinder, tempat duduk capten seat, di setir ada cruise control, audio control, dan paddle shift untuk beralih ke manual. Demikian juga dengan dhapur keris, misalnya pada keris sederhana Dhapur Brojol hanya memiliki ricikan blumbangan atau pejetan saja. Sedangkan Dhapur Sempaner adalah memiliki ricikan sekar kacang, tikel alis, sraweyan, sogokan dan greneng. Setiap nama dhapur keris ditentukan oleh adanya ricikan keris dan bilah lurus atau bentuk luknya.
Ricikan keris adalah perincian dari bagian-bagian sebilah keris dengan istilah-istilah yang telah ada turun-temurun. Pada sebilah keris dapat dibagi atas tiga bagian yakni bagian bilah atau wilahan, bagian ganja dan bagian pesi. Bagian wilahan juga dapat dibagi tiga, yakni bagian pucukan yang paling atas, awak-awak atau tengah dan sor-soran atau bidang bawah. Pada bagian sor-soran (atau bagian bawah) inilah ricikan keris paling banyak ditempatkan.
Wilahan (bilah keris) adalah bagian yang paling Panjang, yaitu mulai dari atas ganja hingga sampai ke ujung atau pucukan. Sementara ganja adalah bagian bawah dari sebilah keris, seolah-olah merupakan alas atau dasar dari bilah keris itu. Pada tengah ganja, ada lubang untuk memasukkan bagian pesi. Sedangkan Pesi adalah bagian ujung bilah keris, yang merupakan tangkai keris merupakan tempat untuk deder keris. Di Jawa disebut Pesi, di Riau disebut Putting, di Malaysia disebut Punting, di Sulawesi disebut Oting.
Menurut Kanjeng Haryono Haryoguritno, nama bagian-bagian atau ricikan keris ini digunakan untuk keris se-Nusantara. Meskipun demikian, kerap kali ada perbedaan penyebutan yang dipengaruhi oleh bahasa lokal. Misalnya, di Sulawesi menyebut keris itu sele atau tappi, ganja adalah kancing, pesi disebut oting. Demikian pula di Madura pesi disebut pakseh, ganja disebut ghencah, bilah keris disebut ghember. Di Bali, ada beberapa perbedaan pula menyebut keris dengan kadutan, pesi disebut panggeh, ganja disebut ganje, Hulu keris disebut danganan.
Untuk pengetahuan tentang keris, baik sebagai kolektor atau pemerhati, ricikan keris walaupun merupakan pengetahuan dasar menjadi sangat penting karena setidaknya dapat untuk membedakan jenis-jenis dhapur. Seseorang tidak akan mungkin mengetahui nama dhapur jika ia tidak hafal terhadap ricikan keris ini. Selain itu mempelajari model-model keris lurus dan model-model keris luk, juga mudah sepanjang ada materinya, ada pembimbingnya, dan ada keris yang dijadikan obyek pembelajaran. Sulit apabila hanya membaca narasi dan buku-buku tanpa disertai dengan melihat keris secara nyata.
Di masyarakat perkerisan, ada istilah yang disebut mbesut atau nglaras, yaitu pekerjaan memugar keris untuk mencari Kembali estetika yang pas, karena beberapa ricikan telah aus dimakan usia. Ricikan yang biasanya aus antara lain: ujung bilah, kembang kacang, jenggot, Jalen, lambe gajah, greneng, ri pandhan, ron dha nunut, pudhak sategal, ganja maupun pesi. Sebagai contoh adalah keris dengan dhapur Kalamisani yang memiliki ricikan kembang kacang, lambe gajah dobel, tikel alis, gusen, sogokan rangkap dan greneng. Suatu ketika ada orang yang sedang mencari keris dhapur Pasopati, oleh seorang ahli keris tinggal mengubah kembang kacangnya menjadi pogog disertai larasan sana sini, maka jadilah keris Pasopati.
Ada pula gubahan keris dari dhapur Brojol, kemudian dibuat krawangan pada sor-sorannya sehingga bentuknya menjadi tidak lazim. Ada pula semula lurus digubah menjadi luk, ada pula semula luk 9 digubah menjadi luk 7, atau semula luk 3 menjadi luk 5. Beberapa hasil gubahan menjadi aneh dan mengurangi nilai estetikanya. Akan tetapi gubahan tersebut sangat dimungkinkan apabila tujuannya adalah untuk menambah nilai maharnya.
Penulis juga pernah menemukan sebilah keris di sebuah pameran pusaka (tidak perlu disebutkan nama kotanya), liukan pada luknya tampak wagu baik di sor-soran maupun di luk atasnya. Dari keterangan keris disebut sebagai dhapur Jangkung, setelah diteliti dan dicermati lebih dalam sebenarnya adalah gubahan dari keris lurus yang dibuat luk 3. Apakah ini sah-sah saja? Menurut penulis gubahan sepanjang tidak mengurangi nilai estetika sah-sah saja, akan tetapi apabila gubahan itu membuat bentuknya jadi aneh sebaiknya jangan tergiur untuk segera memahar keris tersebut.
Pertanyaan lainnya, apakah keris yang digubah dari keris lurus menjadi keris luk makna filosofisnya masih seperti keris sebelumnya? Jawabannya sudah pasti berubah mengikuti kondisi keris terakhir (ter-update). Makna filosofis keris bagi manusia adalah sebagai lambang kehidupan yang divisualisasikan oleh Pesi dan Ganja (Lingga dan Yoni). Kemudian keris lurus sudah dijelaskan beberapa waktu lalu melambangkan keteguhan hati dan kekuatan iman, sekaligus melambangkan tauhid yakni Kepercayaan terhadap Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ketika dirubah menjadi dhapur Jangkung, maka maknanya melambangkan permohonan kepada Tuhan agar cita-cita baik yang menyangkut keduniawian dan kerohanian dapat tercapai dan segala rintangan dapat diatasi dengan mudah.
Pertanyaan terakhir dari sahabat kepada penulis, apakah mengoleksi keris lurus dan keris luk bersamaan diperbolehkan? Jawabannya tentu saja boleh. Meskipun kita sebagai pemerhati keris mengoleksi berbagai macam dhapur keris, namun pada kenyataannya tetap ada krenteg (ketertarikan) pada dhapur tertentu. (Habis)
Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga Bidang Edukasi Senapati Nusantara (Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)
1. Kode : GKO-364 2. Dhapur : Jangkung Kalanadah? 3. Pamor : Triman? 4. Tangguh : Mataram Sultan Agung (Abad XVI) 5. Sertifikasi Museum Pusaka No : opsional 6. Asal-usul Pusaka : Jakarta 7. Dimensi : panjang bilah 33 cm, panjang pesi 7,5 cm, panjang total 40,5 cm 8. Keterangan Lain : ukiran tayuman motif puteri kinurung
TENTANG DHAPUR, jika kita membuka buku dhapur damartaji, ensiklopedi keris, tabel ricikan yang ada di Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar, hingga Kawruh Empu (Wirapustaka, 1914) sekalipun, memang tidak ditemukan nama dhapur pasti dari keris luk tiga ber-gandik lugas dengan memakai sogokan satu yang panjang di depan. Salah satu referensi penunjuk yang mungkin mendekati didapatkan di Buku Primbon Pusoko Jawi yang ditulis tangan oleh Madi Ronggo Widjojo Moeljo (1985). Digambarkan jika keris ini mendekati bentuk dhapur Jangkung Kalanadah.
FILOSOFI, Keris berlekuk tiga oleh masyarakat perkerisan dinamakan keris ‘Jangkung’. Kata Jangkung berarti menuntun, melindungi, mengawasi, dan menjaga dari kejauhan. Keris berlekuk tiga (Jangkung) mengandung arti agar dalam hidupnya manusia untuk selalu “eling” memohon dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa agar hidupnya jinangkung-jinampangan dening Allah (dilindungi dan diberkati oleh Yang Maha Kuasa).
Angka 3 juga merupakan angka ganjil yang mencerminkan keseimbangan. Angka 3 adanya manusia yang selalu mempunyai sifat tiga perkara hidup. Misalnya; Ada 3 hal dalam hidup yang tidak bisa kembali, yakni waktu, ucapan dan kesempatan, maka hendaknya dijaga supaya tidak ada sesal kemudian. Ada 3 hal yang tidak pernah kita tahu, yakni rejeki, umur dan jodoh, mintalah pada Tuhan, dan terakhir ada 3 hal dalam hidup yang pasti, adalah tua, sakit dan mati, maka persiapkanlah dengan sebaik-baiknya.
“Kala” adalah dasanama kawi untuk buta, asura, ditya, diyu, wisaca, wil, yaksa, gandarwa, banasa, yang artinya sama yakni makhluk golongan raksasa. Buta sering disebut bersamaan dengan Kala, karena itu kita mengenal istilah Buta Kala. Kala artinya hitam-biru (hitam kebiru-biruan, nama lain dari Durga Kali). Sedangkan “Nadhah” dalam bahasa Kawi artinya adalah: makan, meminta.
Nusantara merupakan bangsa yang kaya akan cerita mitologi, ada berbagai legenda mengenai terjadinya sebuah gerhana melalui hikayat negeri ini yang diwariskan dari generasi ke generasi terutama di Jawa dan Bali. Sebagian masyarakat Jawa dan Bali percaya jika gerhana bukan sekadar fenomena alam. Gerhana terjadi lantaran ulah Buta Kala, dan menjadi ancaman bagi semesta termasuk umat manusia. Bumi gelap-gulita karena raksasa menakutkan itu menjadi biang keladi menelan matahari atau bulan. Buta Kala dikenal sebagai raksasa rakus yang gemar memakan manusia, dan membuat keonaran di muka bumi.
Batara Kala biasanya diwujudkan dalam bentuk raksasa yang hanya memiliki kepala hingga leher saja, sebagai akibat dari hukuman Dewa Wisnu yang menebas leher Kala dengan senjata cakra-nya karena ikut meminum tirta amerta (air abadi). Dikisahkan pula dalam mitologi Jawa, bagian leher ke bawah dari Batara Kala berubah menjadi lesung (tempat menumbuk padi). Maka, ketika terjadi gerhana, orang-orang beramai-ramai memukuli lesung untuk membuat kebisingan dengan berbagai cara, seperti memukul kentongan, peralatan dapur, dan sejenisnya agar Kala memuntahkan matahari atau bulan yang dimakannya. Matahari atau bulan yang ditelan Buta Kala akan keluar lagi melalui leher bagian bawah yang sudah terpotong. Maka, peristiwa terjadinya sebuah gerhana jarang berlangsung lama.
Saat fenomena gerhana matahari ini terjadi semua wajib masuk ke dalam rumah, terutama wanita hamil dan anak-anak kecil demi menghindari murka sang Buta Kala. Di beberapa wilayah di Jawa, mitos ini masih dipegang teguh. Dalam kepercayaan orang Jawa zaman dulu, sawah atau lahan pertanian juga harus disirami air selama gerhana terjadi agar tidak rusak dan gagal panen. Jika punya kebun yang menghasilkan bahan pangan, seperti pohon-pohon buah, harus dipukul-pukul batangnya supaya selamat dari terjangan murka Batara Kala. Hewan-hewan ternak juga harus dijaga jangan sampai tertidur selama gerhana berlangsung dengan cara dicambuk-cambuk pelan dengan dahan pohon. Jika tidak, hewan-hewan yang merupakan raja kaya itu terancam mati setelah gerhana usai. Selain itu, selama langit gelap karena gerhana, setiap orang wajib terus terjaga, tidak boleh tidur. Kearifan local Ini sebenarnya mengacu kepada ungkapan Jawa yakni: ‘sopo sing leno bakale keno’ (siapapun yang terlena pasti terkena), sehingga ‘kudu eling lan waspodo’.
Dua buah kata yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara jelas apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya sekedar tahu saja namun kurang memahami makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Eling lan waspodo terdiri dari dua kata yaitu eling yang artinya mengingat dan waspodo berarti hati-hati. Eling atau ingat, maksudnya adalah agar manusia selalu ingat pada tiga hal yaitu dari mana dia diciptakan, apa tugasnya di dunia, dan ke mana dia akan dikembalikan. Sedangkan waspodo atau waspada maksudnya adalah agar kita sebagai manusia harus hati-hati dalam menjaga kemurnian beribadah dan menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Menjadi manusia yang eling lan wapodo, berarti kembali sadar dan ingat kepada ha-hal yang sifatnya inti atau sejati; waspada agar tidak tergoda terhadap segala sesuatu yang hanya indah dan gemerlap dari luarnya saja namun keropos di dalamnya.
TANGGUH MATARAM SULTAN AGUNG, kemajuan sangat besar dalam bidang perkerisan terjadi pada masa Mataram terutama pada masa Raja Mataram Sultan Agung Anyokrokusuma. Sultan Agung merupakan Raja Mataram yang paling terkenal dan dalam kekuasannya pembangunan di segala bidang mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan Thomas Stamford Raflles mencatat, bahwa Sultan Agung digambarkan oleh orang Belanda sebagai raja yang sangat pandai dan memiliki pemikiran yang cerah. Meskipun naik tahta dalam usia yang relatif muda, yakni 22 tahun Sultan Agung ternyata bukan hanya berkemampuan memimpin pemerintahan dan kemiliteran, melainkan juga mahir dalam menangani masalah kebudayaan.
Pada masa pemerintahannya budaya keris mencapai puncak kejayaan. Pada zaman itu tercatat banyak nama empu terkenal. Para empu senior ini masing-masing diperintahkan membimbing puluhan empu lain sehinga jumlah empu yang menjadi anak buah mereka berjumlah 800 orang, yang kemudian dikenal dengan ‘empu pakelun‘, ini terjadi menjelang penyerangan ke Batavia. 800 orang empu yang tergabung dalam kelompok ‘empu pakelun‘ ini dipimpin oleh 9 empu jejeneng, yaitu empu Ki Nom, empu legi, empu Tepas,empu Luwing, empu Guling, empu Tundung, empu Anjir, empu Gede, dan empu Mayi.
Dalam buku Ensiklopedi Keris karangan Bambang Harsrinuksmo (2004) dijelaskan jika tangguh Mataram Sultan Agung: pasikutan-nya demes (serasi, menyenangkan, tampan, enak dilihat); besinya mentah, pamornya mubyar.
PAMOR TRIMAN, bentuknya mirip sekali atau boleh dikatakan sama dengan pamor Wos Wutah, tetapi hanya mengumpul pada bagian sor-sor an saja, kemudian pamor itu seolah “berhenti” seperti terpotong, atau putus pada setengah bilah dan kemudian tidak ada kelanjutannya lagi (kosong) di bagian atasnya. Konon pamor Triman lebih cocok dipakai oleh mereka yang sudah purna bakti/pensiun dan tidak lagi memikirkan masalah duniawi, karna diyakini banyak membantu dalam memberikan sugesti rasa tenang dan tentram dalam hati. Namun, bagi mereka yang masih aktif bekerja dinilai kurang cocok memilikinya, karena dipercaya dapat menurunkan ambisi dan semangat untuk maju. Baik juga dipakai untuk mengimbangi oleh mereka yang mempunyai pembawaan temperamental, berangasan, pemarah atau suka kalap.
Istilah “nrima” tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Jawa, baik orang Jawa asli maupun pendatang yang menetap di Jawa. “Nrima” adalah dengan kesadaran spiritual-psikologis menerima segala sesuatu secara penuh terhadap berbagai kejadian di masa lalu, masa sekarang, dan segala kemungkinan di masa depan, tanpa merasa nggrundel (menggerutu karna kecewa di belakang). Apapun yang diterima dianggap sebagai karunia Tuhan YME. Pada kondisi ini, hanya watak lamun kelangan ora gegetun, trima mawi pasrah. Yang artinya, dalam hal apa saja mereka terima dengan kesungguhan dan keikhlasan hati.
Idealnya, sebelum seseorang berada dalam tahap nrima, ada sebentuk usaha atau ikhtiar yang harus dilakukan tersebih dahulu baru kemudian berserah kepada Sang Pencipta. Sebab usaha merupakan jembatan nasib. Komponen ikhtiar atau usaha inilah yang sering terlewat ketika membicarakan nrima, seolah-olah orang yang nrima hanya pasrah saja menerima nasib tanpa berbuat apa-apa. Miskonsepsi ini seringkali menimbulkan kesan bahwa orang Jawa cenderung pasif ketika dihadapkan pada masalah, cobaan atau tantangan, sehingga acapkali faktor ini yang menjadi kambing hitam penyebab pudarnya motivasi untuk bekerja dan mematikan produktivitas.
Yang patut disadari adalah jika setiap manusia diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, antara manusia satu dengan manusia lainnya memiliki bagian yang tidak sama. Orang Jawa menyebutnya beda-beda pandumaning dumadi, sementara kesadaran akan perbedaan itu disebut nrima ing pandum. Sikap nrima ing pandum mengajarkan masyarakat Jawa agar tidak bertindak “nggege mangsa“, yang secara harfiah artinya mendahului waktu. Maksudnya adalah keterburuan yang melupakan kapasitas diri atau memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kondisi, dan waktu. Masyarakat Jawa percaya bahwa jika Tuhan sudah menghendaki maka segalanya akan dimudahkan, begitu pula sebaliknya jika Tuhan belum menghendaki selalu ada rintangan yang menghalangi jalan manusia.
Pendek kata, melalui nrima dan usaha, maka kabegjan (keberuntungan) akan datang mengikuti dengan sendirinya. Sebab di balik itu masih ada pedoman ana dina ana upa, jika masih ada hari, rezeki tentu selalu ada.
UKIRAN PUTERI KINURUNG, Ukiran atau gagang keris. Orang di daerah Yogyakarta sering menyebutnya dengan deder, sedangkan orang Solo dan sekitarnya lebih sering menyebutnya dengan jejeran. Penulisan kata ukiran dalam huruf miring (italic) akan mempermudah untuk memahami bahwa yang dimaksud adalah pegangan keris, supaya tidak rancu pengertiannya dengan arti kata ‘ukiran’ dalam Bahasa Indonesia.
Pada ukiran puteri kinurung, sepintas bentuknya sama dengan jenis ukiran lainnya, tetapi selain pada bagian patran, pada bagian gigir (punggung belakang) hingga bungkul (bawah) dihias lagi dengan cecekan beraneka motif seperti tumbuhan hingga tambahan makara. Motif ukiran puteri kinurung, banyak digemari, terutama di daerah Yogyakarta. Sesuai dikenakan oleh mereka yang tergolong pesolek, biasanya jenis ukiran ini lebih mahal harganya dibandingkan ukiran biasa.
CATATAN GRIYOKULO, keris-keris mataram Sultan Agung memang memiliki daya hipnotis sendiri di mata, terutama dalam penampilannya yang demes, menyenangkan enak dilihat, terlebih diperindah dengan pola pamor yang byor.
Sebenarnya keris ini sudah pernah diberikan keterangan mengenai dhapur, pamor dan tangguhnya oleh Museum Pusaka TMII, namun sudah lama ketika masih menggunakan sandangan lamanya. Saat ini keris Jangkung ini sudah macak tampil lebih miyayeni menggunakan warangka barunya kayu timoho dan ukiran tayuman puteri kinurung.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : [email protected]
Tentang Tangguh Sendang Sedayu
PANGERAN SEDAYU, Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai macam hadiah.
Ki Supa menyatakan kesanggupannya. Dan setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya. Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).
Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.
Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat keris putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen –nya. Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu bahkan ia akan menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.
Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran, yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran. Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.
Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit.
Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan keris buatan Pangeran Sedayu.
Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Jika membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa lumampah.
Keris buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna hitam kehijauan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan hampir selalu merupakan pamor tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor sama sekali, yakni yang disebut keris keleng. Besi keris tangguh Pangeran Sedayu ini demikian prima, tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun sekali.
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.
Selain tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga mendidik orang-orang di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu. Mula-mula mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat keris sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini disebut keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris buatan Pangeran Sedayu.
Keris Jangkung Luk 3 Keleng Sendang Sedayu Sepuh Kuno
Dialih rawatkan (dimaharkan) Keris Jangkung Luk 3 Keleng Sendang Sedayu Sepuh Kuno sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Gambar Keris Jangkung Luk 3
Kerajaan keris hadir untuk menjadi pemersatu pecinta tosan aji dan juga tempat para kolektor dan pecinta tosan aji mencari keris pusaka, tombak pusaka, badik, kujang, dan tosan aji lainya. Kenapa harus kerajaan keris? karena kerajaan keris sudah teruji kemampuan dalam dunia tosan aji selama puluhan tahun juga memiliki junjungan tertinggi yaitu ” kejujuran “. Kerajaan keris hanya menyediakan tosan aji pusaka yang memang cocok untuk dikoleksi karena kualitas menjadi yang utama bagi kami. Harapan kerajaan keris adalah terpeliharanya budaya keris pusaka di tanah Indonesia bahkan dunia mengingat semakin maju zaman banyak generasi yang tidak mengerti tentang budaya keris.
Keris sudah diakui oleh UNESCO pada tahun 2008 sebagai warisan budaya. Keris menjadi warisan budaya Indonesia yang pertama diakui oleh UNESCO. Keris dianggap memiliki kekuatan magis serta memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Keris merupakan senjata tradisional yang memiliki bentuk asimetris. Keris tidak hanya menjadi senjata tetapi sebagai simbol kasta pada zaman dahulu mengingat keris juga memiliki kasta tingkatan dari nilai dhapur, pamor, bahkan kekuatan ghaibnya. Pengakuan UNESCO terhadap keris sebagai warisan budaya dunia mengakui pentingnya keris dalam budaya dan sejarah Indonesia.
Kerajaan Keris membawa kekayaan seni tradisional yang telah mewarnai sejarah bangsa kita. Satu diantara seni memukau adalah seni keris atau tosan aji. Keris bukan sekedar senjata karena memiliki rahasia dibalik keindahannya.
Kerajaan Keris dengan bangga memperkenalkan budaya keris pusaka melalui website ini. Kami ingin membawa keindahan dan sejarah seni tradisional di dalam kemajuan zaman. Kami akan membawa anda memahami keris dari segi seni keunikan maupun secara filosofis dan mistis.
Berbagai keris koleksi yang tersedia kami ingin memudahkan para pecinta keris dan tosan aji mendapatkan pusaka yang diimpikan. Setiap keris yang tersedia memiliki asal-usul, bentuk ukiran, serta nilai sejarahnya masing-masing.
para penggemar seni keris juga dapat menikmati artikel-artikel berkaitan dengan sejarah keris, proses pembuatan, serta nilai simbolik yang terkandung dalam setiap ukiran. Kami berharap dengan adanya website Kerajaan Keris, minat terhadap seni tradisional seperti keris dapat terus berkembang dan dihargai oleh masyarakat.
Kami mengundang anda untuk menjelajahi website resmi kami dan mengalami keindahan seni tradisional melalui koleksi keris yang kami tawarkan. Sertailah kami dalam usaha melestarikan seni warisan bangsa dan memperkenalkannya kepada dunia. Selamat datang ke dunia keindahan dan sejarah melalui seni tradisional keris.
Kerajaan keris memiliki eksistensi yang bagus karena bisa disebut menjadi sumber pelestari budaya yang valid dan diakui oleh banyak orang sehingga tidak menutup kemungkinan banyak pihak mengatasnamakan kerajaan keris sebagai sumber mencari keuntungan pribadi. Kerajaan keris hanya memiliki website resmi yaitu KERAJAAN KERIS
Contact person sudah tertera di dalamnya karena segala informasi tentang kerajaan keris yang valid ada di dalam website ini. Informasi resmi tentang kerajaan keris ada di dalam website ini sehingga ketika ada pihak mengatasnamakan kerajaan keris dan tidak ada informasi yang valid dari website ini dipastikan itu adalah kerajaan keris palsu.
Kerajaan keris tidak pernah memiliki niat mencari keuntungan semata melainkan juga ingin mencari saudara dan relasi dari orang-orang yang ikut serta melestarikan budaya keris pusaka. Kerajaan Keris masih meyakini bahwa banyaknya saudara yang terjalin dengan baik dengan rasa peracaya yang penuh dapat mendatangkan rejeki dan keberkahan dari banyak penjuru. Kami tetap mengingatkan hati-hati dalam memilih keris pusaka dan tosan aji lainya karena keris adalah benda bernilai sehingga banyak pihak yang memanfaatkan minimnya ilmu keris yang dimiliki oleh masyarakat.
Tags: Budaya, gambar keris luk 3 dan namanya, kegunaan keris jangkung luk 3 kecil, keris jangkung luk 3, keris luk 3 kecil, keris luk 3 paling ampuh, khodam keris jangkung, khodam keris luk 3, peninggalan, Sejarah
Keris Jangkung Luk 3 – Keris jangkung biasanya dimiliki oleh tokoh spiritual dan orang-orang yang mendalami ilmu spiritual, apapun aliranya. Kami menduga pusaka ini adalah milik salah satu ulama yang dibantai oleh raja amangkurat di alun-alun plered. Mengingat jangkung kerap dimiliki oleh pelaku spiritual dan pengayom masyarakat. Jangkung memiliki arti jinangkungan atau gegayuhan dimana pusaka ini dapat memudahkan pemiliknya menggapai cita-cita maupun harapanya yang disebut dengan gegayuhan. Makna lebih sederhananya supaya pemilik pusaka ini memiliki doa yang mujarab dan cepat terkabul.
Pusaka ini juga menjadi simbol perlindungan sang maha kuasa. Pusaka ini menjadi saksi keteguhan para ulama dan sifat kesatria para tokoh pemuka agama dalam menempuh perang dijalan Allah. Keberanian mereka tersirat menyatu dan disimbolkan melalui pusaka ini.
Besi Katub Warna Hitam Kehijauan
Jika dicermati warna besi sebilah keris jangkung kelengan ini warnanya nampak mengkilat hitam kehijauan. Hal ini menunjukan kematangan tempa dan sekaligus salah satu ciri khas dari keris tangguh Sendang Sedayu. Keris seperti ini biasanya dibuat dari bahan besi jenis besi katup.
Besi Katub adalah besi yang urat-uratnya seperti rambut, warnanya hitam kehijauan, mengkilat; kalau dijentik bunyinya: Kung, ambrengengeng seperti Iebah terbang. Tuahnya yakni untuk kekebalan dan baik untuk pedagang.
Pusaka Ini Milik Ulama Dalam Tragedi Pembantaian Raja Mataram Amangkurat?
Terdapat misteri dari sebilah pusaka ini, tentu ada hubunganya pada zaman pemerintahan mataram amangkurat 1 yang terkenal kejam dan bengis. Pada kala Amangkurat I yang bernama asli Raden Mas Sayidin merupakan raja keempat dari Kerajaan Mataram Islam dengan masa pemerintahan sejak tahun 1646 hingga 1677. Setelah ayahnya, yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat.
Amangku adalah memangku lalu RAT adalah bumi, jika digabungkan amangkurat memiliki arti memangku bumi.. Nama itu menjadi simbol pemimpin suatu wilayah bernama mataram.
Pada masa amangkurat terdapat tragedi mengerikan di alun-alun plered pada suatu siang tahun 1647 atau 1648. Terdapat pembantaian 6000 ulama dan keluarganya secara masal dalam waktu kurang dari 30 menit. Pembantaian itu menggunakan aba-aba meriam yang ditembakan dari dalam istana. Pembantaian itu dilakukan karena ketakutan amangkurat kehilangan takhta agungnya di bumi mataram, sehingga amangkurat memerintahkan beberapa pejabat untuk mengeksekusi seluruh ulama tanpa terkecuali, semua dilakukan dengan strategi yang sangat matang meskipun pada akhirnya para pejabat kepercayaanya menjadi kambing hitam dan ikut dibantai oleh sang raja amangkurat.
Keris jangkung biasanya dimiliki oleh tokoh spiritual dan orang-orang yang mendalami ilmu spiritual, apapun aliranya. Kami menduga pusaka ini adalah milik salah satu ulama yang dibantai oleh raja amangkurat di alun-alun plered. Mengingat jangkung kerap dimiliki oleh pelaku spiritual dan pengayom masyarakat.